Tradisi
Perang Suci dalam Perjanjian Lama
The
Tradition of Holy War in the Old Testament
Robi Prianto[1]
Abstract
The tradition of holy war in the Old Testament does
not appear out of nowhere, but through a long process in the cultural history
of the nation of Israel. The tradition of Holy War in the Old Testament
coincided with the emergence of Israeli culture itself. Holy war in Israel
trust is a form of sacred covenant between the people of Israel with God. Where
the Israelites made a covenant with God in heaven to give the victory to them
from the attacks of his enemies. In the development of holy war into a sacred
institution, cult and strong in the belief of the nation of Israel.
Abstrak
Tradisi perang suci dalam Perjanjian
Lama tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses yang panjang dalam sejarah
budaya bangsa Israel. Tradisi Perang Suci dalam Perjanjian Lama terjadi
bersamaan dengan munculnya kebudayaan Israel itu sendiri. Perang suci dalam
kepercayaan Israel merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral antara umat
Israel dengan Allah. Di mana bangsa Israel mengikat perjanjian dengan Allah di
surga untuk memberikan kemenangan kepada mereka dari serangan musuh-musuhnya.
Dalam perkembangannya perang suci menjadi suatu lembaga yang sakral, kultus dan
kuat dalam kepercayaan bangsa Israel.
Key Words: The tradition, holy war, a
covenant, Old Testament
I.
PENDAHULUAN
Kata perang bukanlah merupakan suatu hal yang asing
didengar oleh masyarakat dunia, terlebih khusus di Indonesia. Akhir-akhir ini, hampir
semua media elektronik maupun cetak di Indonesia sering menayangkan dan
memberitakan mengenai perang saudara yang terjadi di Suriah. Begitu pula dengan
yang terjadi di beberapa daerah Nusantara beberapa tahun yang lalu juga
mengalami hal serupa, contohnya; seperti yang terjadi di Poso dan Ambon, di
mana institusi agama dijadikan instrumen dalam membenarkan tindakan perang yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Perang digunakan untuk membela nama
Tuhan, padahal jika diteliti dengan seksama dan lebih lanjut, kepentingan
pribadi atau ego manusialah yang menjadi alasan terjadinya perang, karena
setiap orang merasa dirinya yang paling benar.
Isu perang atas nama Tuhan selalu menjadi topik
yang hangat mulai dari jaman Perjanjian Lama hingga saat ini. Setiap pengikut
suatu agama tertentu sangat bersemangat jika membahas perang demi membela
agamanya. Bahkan bangsa Israel pun menjadikan perang atas nama Allah sebagai
suatu hal yang kultus dan sakral, yang dimulai dengan memberikan korban bakaran
kepada Allah sebelum mereka pergi berperang, dengan tujuan Allah memberikan
kemenangan bagi mereka (Hak 6:20, 26).
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk menulis makalah dengan
judul “Tradisi Perang Suci dalam Perjanjian Lama”.
Bertolak
dari Tradisi Perang Suci dalam Perjanjian Lama, maka ada beberapa pertanyaan
penting dalam kaitannya dengan kehidupan orang percaya saat ini. Pertama,
bagaimanakah awal munculnya tradisi Perang Suci dalam Perjanjian Lama? Kedua,
apakah makna Perang Suci dalam Perjanjian Lama bagi umat Israel? Ketiga, adakah
implikasi dari perang suci dalam Perjanjian Lama bagi kehidupan iman orang
percaya saat ini?
Jadi
makalah ini penting, pertama ingin menjelaskan awal munculnya tradisi Perang
Suci dalam Perjanjian Lama. Kedua, ingin menjelaskan makna Perang Suci dalam
Perjanjian Lama bagi umat Israel. Ketiga, ingin memaparkan implikasi dari
perang suci dalam Perjanjian Lama bagi kehidupan iman orang percaya saat ini.
II.
Awal
Munculnya Tradisi Perang Suci dalam Perjanjian Lama
Di dalam beberapa bagian Alkitab kata perang dapat
dengan mudah dijumpai, khususnya di dalam Perjanjian Lama (PL). Kata perang
dalam bahasa Ibrani memakai kata milkhamah. Kata milkhamah
sendiri berasal dari akar kata lakham (berperang). Kata milkhamah
muncul lebih dari 300 kali mulai dari kanon
Torah (Kej 14:2) sampai dengan Ketubim (Dan
9:26).[2]
Dalam membahas munculnya
tradisi perang suci, maka Kitab Ulangan adalah sumber terlengkap atau terkaya
di dalam Perjanjian Lama mengenai konsep dan kebiasaan dari perang suci. Kitab Ulangan tidak hanya berisi serangkaian
perintah normatif secara rinci dan resep tentang perilaku dan kebiasaan di
kamp, sebelum pertempuran, dan sebagainya, tetapi juga sangat kontras dengan
hukum kekudusan. Dari pasal pertama sampai dengan terakhir, kitab Ulangan
secara terbuka membahas ideologi dari perang, asal-usul dan isi teologis dari
perang itu sendiri. Semua alamat dan hukum dalam Ulangan diberikan kepada
Israel secara terus-menerus dengan tujuan mereka sadar siapa dirinya, dan
musuh-musuhnya.
Ideologi
perang muncul melalui editing Deuteronomistis dari banyak buku bersejarah
bahkan hampir seluruh Perjanjian Lama. Hal ini terjadi, karena penulis Kitab
Ulangan menarik ke dalam tubuhnya semua jenis teks bahan hukum yang berasal
dari zaman jauh lebih tua, sehingga sebagai akibatnya, sesekali muncul
ketegangan antara materi hukum yang lebih
tua dan konsepsi serta tujuan dari penulis sendiri.
Bentuk kritis analisis
belum sepenuhnya dilakukan dalam Ulangan karena pidato parenetic orang Lewi dibingkai melalui pembacaan hukum sebagai
pidato yang memperingatkan Israel dan berfungsi sebagai janji-janji berkat.
Teks-teks yang dibingkai itu hanya semacam pemberitaan hukum, namun ada yang
hilang dalam Ulangan 7:16-26 yaitu, kiasan mengenai keinginan Yahweh dalam hal
keadilan atau hukum, "yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini".
Dari hal tersebut dapat terlihat mengenai prinsip-prinsip dari perang suci.
Dimana Allah memberikan teror kepada musuh-musuh Israel. Jika Sitz im Leben bagian parenetic ini dipertanyakan, maka semua
pidato adalah [ditujukan kepada orang] dalam perang suci. Namun, hal itu tidak
mungkin sudah diucapkan dengan cara tersebut pada zaman para hakim.[3]
Pada awalnya
sikap Israel terhadap peperangan sangatlah kompleks dan saling bertentangan.
Ada tujuh bentuk peperangan dalam Alkitab khususnya dalam Perjanjian Lama,
yaitu[4]
1. Bentuk
perang yang pertama, yaitu perang yang menuntut pembinasaan total dari
musuhnya, tanpa terkecuali (Ul 2:34-35; Yos 6:17-21; 8:2, 24-25). Dalam
perspektif ini, kematian musuh bukanlah merupakan persoalan pembalasan yang
adail, tetapi untuk menyenangkan Allah dengan pengorbanan manusia.
2. Bentuk yang
kedua, yaitu perang yang menghendaki pemusnahan musuh seluruhnya sebagai
orang-orang berdosa yang dihukum oleh keadilan ilahi (Ul 13:12-18; 20:10-18).
Dalam perspektif ini, pemusnahan merupakan tuntutan keadilan.
3. Bentuk
perang yang ketiga, yaitu tradisi Priestly, yang menuntut dengan tegas
pemusnahan musuh karena alasan ketidaksucian mereka (Bil 31).
4. Bentuk
perang yang keempat adalah tradisi puitis yang mengagungkan perang sebagai
sesuatu yang indah dan mulia, memuji kepahlawanan dan membesarkan hati para
prajurit (1 Sam 17:1-54; 2 Sam 2:12-16; 2 Raj 6:22-23; 2 Taw 28). Dalam
perspektif ini, perang adalah pertandingan yang harus dimainkan sesuai dengan
aturan untuk memenangkan kehormatan.
5. Bentuk perang
yang kelima adalah peperangan difokuskan kepada pihak yang lemah, yang
melakukan penipuan, dengan menggunakan alasan dan kebohongan untuk memperoleh
kemenangan dalam melawan musuh yang lebih kuat (Kej 34; Hak 3:12-20; Est 8-9).
6. Bentuk
perang yang keenam adalah ideologi asas manfaat yang memandang bahwa semua alat
dibutuhkan dan dibenarkan dalam peperangan (Hak 9:45-47; 2 Sam 5:6-8).
7. Bentuk
perang yang terakhir, yaitu perang dengan ideologi non-partisipasi yang
dilakukan oleh orang Israel sendiri (Kel 14-15). Umat Israel berdiri di pinggir
arena, ketika Allah berperang bagi mereka, sehingga Alahlah yang memiliki semua
kebesaran. Dalam bentuk perang ini, umat Israel hanya bersandar pada
pertolongan Allah, sepereti dalam kemenangan prototip Allah atas tentara Mesir
di Laut Merah.
Menurut Walter Kaiser dan
Henrik van Oyen, bangsa Israel kuno pada dasarnya merupakan bangsa yang cinta
damai, meskipun bukti kekerasan banyak dijumpai di dalam tradisi mereka.
Sedangkan menurut Johannes Hempel dalam etika Perjanjian Lama, bangsa Israel
merupakan bangsa yang sangat memegang teguh pada perjanjian, sejarah, dan Yahweh sebagai Allah yang mereka sembah.
Isu perang dalam Perjanjian Lama muncul dalam konteks membahas hubungan dengan
orang asing atau dalam hal bentuk balas dendam atas perjanjian yang rusak.[5]
Gerhard von Rad
menggambarkan perang sebagai perintah Allah, dimana Allah sendiri pemimpin
perang dan dalam Kitab Suci Ibrani hal itu disebut sebagai "Perang
Suci" dan "lembaga kultus". Disebut kultus karena semua emas dan
perak, manusia dan hewan menjadi persembahan bagi Allah (Yos 6:18-19). Tipologi
perang suci menurut Von Rad termasuk di dalamnya adalah motif peniupan
terompet, penyucian para tentara, proklamasi kemenangan janji oleh Tuhan,
kepemimpinan Allah, kebutuhan total kepercayaan oleh Israel, hilangnya
keberanian musuh karena "teror ilahi", diberlakukannya herem atau larangan setelah kemenangan,
dan pemberhentian pasukan. Konsep perang suci itu merupakan suatu wujud nyata
dari herem (suatu ritual khusus),
dimana bangsa Israel mengikat perjanjian dengan Allah, sehingga Allah sendiri
yang bertindak di dalam perang, sehingga bangsa Israel memperoleh kemenangan
tanpa melakukan tindakan fisik. Sebab Allah sendiri yang memberikan terror atau
ketakutan kepada musuh-musuh Israel. Alasan inilah (intervensi Allah) yang
membuat bangsa Israel memandang perang itu sebagai suatu ritual suci, dimana
setiap pertempuran selalu dibuka dengan tiupan terompet atau sangkakala (Hak
7:20; Yos 6:5; 1 Sam 17:20, 52; 2 Taw 20:21-22) yang menandakan bahwa Allah
hadir atas Isarel. Perang Suci pada awalnya merupakan suatu lembaga sakral yang
terbentuk sebagai perjanjian antara Israel dengan Allah dengan tujuan untuk
menjaga iman mereka dari gangguan pihak luar.[6]
Bagi
bangsa Israel semua segi kehidupan mereka,
terjalin dengan Allah. Termasuk dalam hal peperangan. Di dalam Perjanjian Lama,
banyak ayat yang mengindikasikan Allah terlibat dalam peperangan yang dilakukan
oleh bangsa Israel, diantaranya yaitu Allah sebagai pahlawan perang (Kel 15:3;
Yes 42:13), Tuhan mengepalai bala tentara (2 Taw 13:12). Allah menyuruh
umat-Nya keluar untuk berperang (2 Taw 6:34). Allah melakukan penghadangan (2
Taw 20:22), dan Allah mengajar pemazmur untuk bertempur (Mzm 144:1). Allah mengambil
alih pertempuran, sementara tentara Israel tinggal diam saja (2 Taw 20:17). Tanda
bahwa Allah hadir dan menyertai bangsa Israel adalah adanya tabut perjanjian
dalam kemah suci mereka. Oleh sebab itu, peperangan harus berhasil (1 Taw
5:22), karena Allah sendiri akan menyerahkan musuh ke dalam tangan umat-Nya (Ul
20:13), dan terkadang Allah memakai kekuatan alamiah untuk tujuan tersebut (Hak
5:4, 5). Oleh karena itu, perang dan segala persiapannya dianggap kudus (qiddesy
milkhama), karena didahului dengan ritual penyerahan korban bakaran (Hak
6:20, 26).[7]
Termasuk barang-barang hasil jarahan dalam setiap pertempuran yang dilakukan
tidak boleh diambil, karena barang-barang itu sudah dikhususkan untuk Allah
(harus dihancurkan tanpa terkecuali).
Teks-teks Alkitab yang
mengacu pada penghancuran atas barang-barang hasil perang bagi Allah memakai
kata “Herem” yang berarti dikhususkan
. Sebagian besar teks Alkitab dalam Ulangan dan Yosua, diasumsikan bahwa Allah
menuntut kehancuran total dari musuh, contohnya Bil 21: 2-3; Ul 2:30-35; 7:2-6,
dll. Akan tetapi Istilah herem sendiri
juga dipakai untuk merujuk kepada hal pengorbanan dan penebusan yang
diperuntukkan bagi para imam (Bil 18:14).
Banyak sarjana telah
menunjukkan koneksi linguistik dan konseptual antara berbagai teks Alkitab
dimana budaya bangsa-bangsa di sekitar daerah Timur Dekat Kuno pada waktu itu mengenai
perang sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh dewa dan setiap musuh yang ditaklukkan
merupakan persembahan yang dikhususkan untuk dewa. Hal itu termasuk juga di
Israel contohnya, ketika bangsa Israel berperang melawan Kanaan mereka
bersumpah kepada Allah akan menghancurkan semua kota-kota dan apa yang ada di
dalamnya, dimana hal tersebut merupakan respon dari bantuan ilahi yang mereka
terima (Bil 21:2-3).[8]
Kekerasan yang
diperintahkan Allah di dalam Perjanjian Lama banyak menimbulkan masalah bagi
para penafsir baik dari kalangan Yahudi maupun Kristen. Tradisi rabinik di
kemudian hari pun mengungkapkan terpeliharanya kesukacitaan atas pembinasaaan
orang-orang Mesir. Menurut tradisi umat Israel yang kemudian menyebutkan bahwa
selagi para malaikat mulai memuji bersukacita, setelah pembebasan di Laut
Merah, Allah berbicara kepada mereka: ”Pekerjaan tangan-Ku telah mengeringkan
laut, akan bernyanyikah kamu?”[9]
Walter Brueggemann
berpandangan dan memahami Yahweh sebagai prajurit ilahi di Isarel, secara umum
dalam model perang yang adil: perang untuk mempertahankan dan melindungi
kehidupan komunitas yang tertindas, yang berulang kali diancam oleh musuh yang
lebih kuat. Brueggemann juga melihat aktivitas Allah yang berada di pingir
batas kekerasan, bukan di pusatnya. Namun demikian, Brueggemann mengakui
dimensi kekejaman lebih lanjut dalam gambaran Alkitabiah atas diri Yahweh sebagai prajurit. Di samping
kekerasan terukur untuk mempertahankan keadilan mana pun, ada sesuatu yang aneh
dan menakutkan: “sifat Yahweh yang terlihat
kejam memperkenankan terjadinya kekerasan pada suatu kesempatan, yang tidak
dapat diisi oleh makna keadilan mana pun. Kekerasan potensial tersebut dapat
terjadi setiap saat, karena Yahweh pada
akhirnya tidak bertanggung jawab kepada pihak lain, bahkan tidak pula kepada
Israel sebagai umat-Nya”.[10]
Dengan bencana kekalahan
Yosia, lembaga perang suci di Israel kuno mulai ditemukan ujungnya. Sebab hal
itu pernah menjadi hancur sebelumnya yaitu, melalui cara-cara dimodifikasi
dalam melancarkan perang di zaman raja-raja - tetapi pada saat yang sama muncul
ideologi perang suci dalam tulisan setelah Salomo. Selanjutnya konsep perang
suci mulai berkembang secara sangat independen dalam gerakan kenabian, kemudian
kembali mengejutkan di bawah Yosia lembaga perang suci kembali keaslinya
menjadi kelembagaan Sitz im Leben dan
dari pengaturan bahwa sekali lagi memperoleh kekuatan baru dan dorongan. Lalu,
perang suci sebagai lembaga sakral menjadi hancur oleh kekuatan militer pada
tahun 608 SM, 596 SM, dan 587 SM. Konsep perang suci muncul kembali dalam
bentuk teologis - yaitu, di Ulangan dan Deuteronomistis
pengerjaan ulang dari literatur dan dalam narasi sejarah Tawarik.[11]
III.
Makna
Perang Suci dalam Perjanjian Lama bagi Umat Israel
Menurut Johnson dan
Bainton keyakinan sebagian besar penulis Alkitab serta para pemikir diperiode
awal modern dan klasik bahwa Allah telah memerintahkan perang atau bahwa firman
Allah harus dipertahankan dengan cara berperang merupakan keyakinan yang kurang
tepat, sehingga batas antara perang yang adil dan perang suci menjadi kabur.[12]
Gerhard von Rad
menjelaskan karakteristik utama dari perang adalah munculnya aliansi sakral
yang komprehensif. Pada prinsipnya perang digambarkan sebagai respon dari kedua
belas suku sebagai bentuk penyembahan kepada Yahweh, yang bukan hanya berperan
sebagai dewa suku saja tetapi juga merupakan Allah "Israel".
Selanjutnya, perang ini muncul sebenarnya sebagai suatu bentuk pertahanan dalam
kasus ancaman perjanjian suku secara keseluruhan.[13]
Bangsa Israel menganggap bahwa perlakuan Allah
terhadap mereka melalui sejarah adalah penyataan, sama seperti pesan yang
disampaikan oleh seorang nabi Allah. Kuasa Allah ditekankan berulang-ulang
dalam Kitab-kitab Yosua, Hak, dan Rut. Allah memberikan kemenangan kepada umat
Israel atas bangsa Kanaan dalam menaklukkan negeri itu. Allah terus menyatakan
diri-Nya sebagai Penguasa Tertinggi atas seluruh alam semesta. Seluruh bumi
adalah milik-Nya (Yos 1:3; 14:1-2; 21;43).[14]
Lagu atau nyanyian Debora
dalam Hakim-Hakim 5 memahami peristiwa perang yang dialami oleh bangsa Israel sebagai
perang suci: karena nyanyian itu berisi pujian kepada TUHAN, yang membuat
tentara menjadi bersatu dan bersedia; Yahweh
secara pribadi datang ke pertempuran; adanya
intervensi dari sorga, semua itu menunjukkan bahwa kejadian tersebut
terjadi seperti di ruang sakral dan dalam bentuk sakral.[15]
Bagi
Israel, perang dilakukan hanya sesuai dengan kehendak Allah, di bawah
pimpinan-Nya, dan diselesaikan dengan kepercayaan kepada-Nya. Musuh Israel adalah musuh Allah. Kelangsungan hidup
umat perjanjian milik Allah harus lestarai. Umat harus disucikan dari segala
immoralitas yang hebat yang merusak kehidupan mereka, karena Israel menjadi
alat penyelamatan ilahi bagi dunia. Hal tersebut membantu pengertian tentang
larangan yang melibatkan pembinasaan tuntas (kherem) yang berarti
dikhususkan untuk dimusnahkan (Yos 6:17). Di sisi lain, peperangan juga
merupakan alat yang dipakai oleh Allah untuk menghukum bangsa Israel (Hab 1:6;
Ye 10:5; Yer 25:1-9; Yeh 21:8-23).[16]
Peter C. Craigie
berpendapat pemusnahan musuh baik pria, wanita, dan anak-anak-dengan cara
apapun yang dianggap sebagai tindakan suci adalah tidak tepat, karena itu tidak
lebih dari tindakan kultis dari asosiasi agama itu sendiri. Pandangan dunia
dibentuk oleh normatif harapan teologis dari tradisi agama mereka sendiri
(Oden). C.H.W. Brekelmans, misalnya, tidak menunjukkan bahwa kherem sebagai sarana untuk memperoleh
bantuan Tuhan dalam perang itu dilakukan di awal perang secara khusus oleh
Israel. Brekelmans menyebutkan bahwa hanya tiga teks Alkitab yang mengungkapkan
ideologi “herem” ini (Bil 21:13; Josh 6-7; 1 Samuel 15) selebihnya itu berasal
dari para pemimpin militer atau nabi, dan bukan dari Allah.
B.W. Anderson menjelaskan kherem sebagai hubungan antara larangan
dan pengorbanan bagi Allah. Gagasan larangan sebagai korban bukan satu-satunya
model larangan yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani, tapi kehadiran larangan
sebagai korban dalam Alkitab Ibrani tidak bisa ditolak.[17]
Pondasi ideologis agama dari perang suci,
merupakan bagian dari suatu ritual primitif dari tradisi Israel kuno, sebagai
bentuk praktik pemujaan yang ingin mengatur seluruh ruang kehidupan dalam
masyarakat secara sakral dan terikat satu sama lainnya. Johannes Pedersen telah
menggambarkan perang suci sebagai jaringan magis besar kekuasaan. Allah adalah
sumber daya; dan dari Tuhan setiap prajurit secara individu menerima kekuasaan.
Hal tersebut menunjukkan konsep iman dari Israel yang percaya diri dengan yakin
pada tindakan Yahweh, dan hal itu menjadi ciri khas dari perang suci yang
memiliki karakter dinamis dalam masyarakat Isarel kuno.
Perang suci bukanlah
merupakan suatu perang agama atau dengan kata lain, dalam perang suci Israel
tidak muncul untuk melindungi iman dalam Yahweh, tetapi TUHAN datang untuk
membela Israel, karena Israel adalah milik Yahweh. Para pembaca dapat melihat
bahwa penaklukan oleh suku-suku berlangsung dengan cara-cara damai. Di dalam
perjalanan atau perkembangan sejarah selanjutnya dari perang suci ketika
suku-suku mengalami kuasa Yahweh dalam bentuk sakral, itu adalah wahyu baru
dari esensi perang suci tersebut.[18]
Martin Klingbeil
menggambarkan Allah sebagai prajurit yang berjuang dari Surga dalam membela
Israel dari musuh-musuhnya. Dalam Mazmur 18: 8-16, diriwayatkan acara theophanic(penampakan diri Allah) dimana
Yahweh turun dari Surga dan fenomena
ini dijelaskan dalam hal fenomena alam. Spasial yang dimensi dari atas ke
bawah. Hanya dalam bagian ini dari seluruh Alkitab Ibrani terlihat bahwa Yahweh naik kerub, seperti layaknya
seorang raja pada kereta perang.
Contoh lain adalah Mazmur
29, yang terkenal untuk repetisi dari "suara Yahweh" sebagai suara badai. Klingbeil menganggap Mazmur ini
sebagai deskripsi dari metafora seorang prajurit. Dan di sini, prajurit ini
menaklukkan wilayah. Gambaran spasial dari mazmur ini relevan untuk pemahaman
ini: dari Mediterania, menuju Gunung Lebanon, Gunung Hermon, dan gurun Kades. Yahweh berasal dari perairan,
menaklukkan kekacauan, dan mendominasi pedalaman dan menggunakan gunung sebagai
bukti kekuasaan-Nya.[19] Klingbeil berpandangan
bahwa Allah sebagai prajurit memiliki kuasa yang lebih tinggi dan dapat
menghancurkan kekuatan dewa-dewa sesembahan penduduk daerah Timur Dekat Kuno,
baik itu secara langsung maupun melalui fenomena-fenomena alam. Dampaknya
adalah umat Israel hanya berperan sebagai penonton dan bukan sebagai objek yang
terlibat di dalamnya, karena Allah sendiri yang berkerja untuk menghancurkan
musuh-musuh Israel. Umat Israel diajar untuk percaya dan yakin dengan iman
terhadap pertolongan Yahweh.
Bagi
Israel, fitur yang paling penting dari perang suci adalah permintaan iman
dalam tindakan penyelamatan yang
dilakukan oleh Yahweh. Namun, von Rad berpendapat, itu bukanlah Yahweh sendiri
yang bertindak; akan tetapi orang Israel percaya bahwa Yahweh hadir dan menyertai
dalam pertempuran yang mereka lakukan dan memberikan kemenangan kepada mereka.[20]
IV.
Implikasi
dari Perang Suci dalam Perjanjian Lama Bagi Kehidupan Iman Orang Percaya Saat
Ini
Pendekatan kritis lain secara langsung terhadap
ideologi perang suci dikemukakan oleh
Martin Buber, yang memberikan ulasan terhadap permintaan nabi Samuel, atas nama
Allah, agar Saul tidak hanya membunuh pimpinan bangsa Amalek yang tertangkap,
namun semua bangsa Amalek, termasuk bayi dan anak-anak (1 Sam 15:3). Buber
menegaskan bahwa Samuel sudah salah dalam memahami Allah. Bagi buber dari
kesaksian Alkitab timbul suatu pemahaman tentang Allah yang membentuk penilaian
orang-orang percaya.[21]
Ajaran Kristen mengenai
perang dan damai akhir-akhir ini, sering menolak secara implisit tuntutan Musa,
Yosua dan Samuel yang keras untuk suatu perang suci, tanpa merefleksikan secara
eksplisit berbagai asumsi atau implikasi dari penolakan terhadap ajaran Alkitab.
Contohnya, diskusi mengenai perang nuklir dalam surat pastoral uskup-uskup
Katolik Amerika, penegasan Paus Yohanes Paulus II mengenai kekudusan hidup
semua manusia, secara sembunyi-sembunyi mengabaikan tuntutan Alkitabiah untuk
membinasakan total semua lawan Isarel. Teks Alkitab yang menjelaskan mengenai
permintaan Samuel untuk membunuh semua bayi-bayi orang Amalek atas nama Allah
(1 Sam 15:3), seakan-akan bertentangan dengan ajaran dari Tuhan Yesus dan
pernyataan Paus Yohanes Paulus II yang mengajarkan tentang kasih, baik kepada
Allah maupun kepada sesama manusia. Namun, sebagian orang Kristen dan Yahudi
saat ini, dalam praktiknya lebih banyak memilih perspektif Alkitab sebagai
penyataan kehendak Allah dan dengan diam-diam menolak yang lain. Memilih Allah
di atas Alkitab merupakan tantangan terbesar bagi umat Yahudi dan Kristen saat
ini.[22]
Implikasi
langsung dari perang suci dalam Alkitab bagi kehidupan iman orang percaya saat
ini adalah adanya sebagian kelompok tertentu yang memegang pemahaman bahwa
perang demi membela agama dan Tuhan dapat dibenarkan. Perang atas nama Allah
atau agama juga menjadi akar konflik yang berkepanjangan, seperti yang terjadi
di Timur Tengah hingga saat ini. Lebih lanjut lagi akibat perang juga
menimbulkan luka fisik dan mental diantara kedua belah pihak. Akibat yang lebih
parah adalah banyaknya orang yang tidak lagi mempercayai intitusi agama, bahkan
bersikap skeptis terhadap kekristenan, dan meninggalkan Tuhan, seperti yang
terjadi di negara-negara Eropa. Hal tersebut dimulai sejak awal Masa Pencerahan,
di mana dunia Barat telah berupaya untuk membebaskan diri dari setiap gagasan yang
berhubungan dengan ilahi. Di mana Tuhan dari agama Yahudi dan Tuhan agama Kristen
telah diturunkan sebagai sosok masa lalu dan menjadi masyarakat ateis sekuler yang
ada saat ini.
Dampak
lain juga terjadi kepada gereja. Gereja telah mengobarkan semangat perang dalam
diri umat Kristen pada masa lampau, bahkan gereja sebagai suatu lembaga
institusi agama dengan kekuasaan dan pengaruhnya telah melegalkan perang atas
nama Tuhan. Akibatnya terjadi beberapa kali Perang Salib yang berkepanjangan,
dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda, baik itu dari pihak kristen,
Islam, maupun Yahudi, dan diakhiri dengan kekalahan dari pihak Kristen.
Akibatnya, hingga saat ini, gereja selalu dibenci dan menjadi sasaran dalam
kekerasan di negara-negara Islam, semua itu disebabkan oleh karena luka batin
yang ditimbulkan dari Perang Salib pada masa lampau.
V.
PENUTUP
Semua perilaku perang dalam Perjanjian Lama terjadi
bersamaan dengan munculnya kebudayaan manusia itu sendiri. Perilaku perang
merupakan masalah yang kompleks dan susah untuk dimengerti, karena selalu
ditemukan di dalam setiap kebudayaan suatu bangsa atas alasannya masing-masing.
Adanya pandangan mengenai Ideologi perang sebagai perintah Allah menurut Susan
Niditch, tidaklah tepat karena teks-teks yang ada mengenai perang saling
berkontradiksi. Berkaitan dengan ideologi perang yang terdapat di dalam
Perjanjian Lama setidaknya ada tujuh ideologi yang menjadi tradisi dari Israel
kuno, dimana ideologi tersebut masing-masing memiliki fungsi dan aturan
tersendiri di dalam sejarah Israel. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi
mengenai tradisi perang dalam Perjanjian Lama adalah masalah itu berkutat
disekitar persoalan kasih sayang dan permusuhan. Budaya perang yang terjadi di
dalam Perjanjian Lama telah mempengaruhi perjalanan sejarah sosial dan
intelektual bangsa Israel itu sendiri.
Perang Suci pada awalnya
merupakan suatu lembaga sakral yang terbentuk sebagai perjanjian antara Israel
dengan Allah dengan tujuan untuk menjaga iman mereka dari gangguan pihak luar.Di
dalam perkembangannya perang suci telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi.
Sebagai contoh yaitu, perang yang tadinya dilakukan karena pembelaan iman,
menjadi perang karena motif politik dan militer. Sehingga perang tersebut tidak
lagi bisa disebut sebagai perang suci, karena perang itu tidak disakralkan
terlebih dahulu melalui ritual keagamaan. Selain itu, perang tersebut pun
dilakukan oleh tentara profesional dengan motif ekonomi yang utama, dan bukan
oleh rakyat jelata yang dengan kesadaraannya mengabdikan dirinya dalam perang
demi mempertahankan perjanjian iman dengan Allah.
Pada prinsipnya tidak ada
perang suci, karena di dalam setiap perang yang terjadi selalu terselip
keinginan pribadi atau hawa nafsu duniawi dari setiap pelaku perang itu
sendiri. Disebut perang suci, karena adanya campur tangan Allah di dalamnya
yang bertujuan untuk menjaga kemurnian dari perjanjian yang telah Allah buat
dengan manusia. Lebih lanjut, tidak semua perang yang terjadi di dalam
Perjanjjian Lama karena Allah yang memerintahkan. Di dalam mempelajari perang
ini pun setiap orang harus benar-benar teliti, sebab teks yang satu dengan yang
lainnya kadang berbeda makna utamanya. Craigie sendiri pernah
mengungkapkan bahwa menerima historisitas narasi perang dalam Perjanian Lama
sekalipun disadari tidak mudah menjelaskannya. Yang menarik, Craigie melihat
perang-perang dalam Perjanjian lama dalam bingkai seluruh pewartaan Alkitab.
Sekalipun Allah nyata terlibat dalam perang-perang Israel, Israel tetap sebagai
sebuah bangsa yang terdiri atas orang-orang berdosa dan institusi pemerintahannya
bersifat duniawi, termasuk memakai perang sebagai cara mempertahankan
eksistensinya. Menurutnya, perang murni berasal dari hawa nafsu manusia (Yak.
4:1, NKJV).[23]
Kepustakaan
Buber , Martin. “Autobiographical
Fragments,” dalam The Philosophy of
Martin Buber, peny. Paul Arthur Schilp. LaSalle, Illionis: Open Court,
1967.
Brueggemann,
Walter. Theology of the Old Testament:
Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis: Fortress, 1997.
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z. Jakarta:
YKBK, 1997.
Karman, Yonky. Perang Dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterpretasi. http://www.alkitab.or.id/biblika/Yonky4.htm. Diunduh pada
tanggal 13 Januari 2015.
Klingbeil, Martin. Yahweh Fighting
from Heaven, God as Warrior and as God of Heaven in the Hebrew Psalter and
Ancient Near Eastern
Iconography.
Switzerland: University Press Freiburg Vandenhoeck & Ruprecht
Göttingen, 1999.
Lefebure, Leo D. Penyataan Allah, Agama, dan kekerasan. Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2006.
Niditch,
Susan. War In The Hebrew Bible, A
Study In The Ethics Of Violence. New York: Oxford University Press,
1993.
Von
Rad, Gerhard. Holy War in Ancient Israel.
Eugene: Wipf and Stock Publishers, 2000.
Zuck,
Roy B. (Ed).A Biblical Theology of The
Old Testament. Malang: Gandum Mas, 2005.
[1]
Mahasiswa STT Cipanas NIM: 130095
[2] Yonky Karman, Perang
Dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterpretasi,
http://www.alkitab.or.id/biblika/Yonky4.htm (Diunduh pada tanggal 13 Januari 2015).
[4]
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama,
dan kekerasan (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2006) 90-92.
[8] Niditch, War In The Hebrew Bible, A Study In The Ethics Of Violence,
27-32.
[9] Ibid, 150.
[10] Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony,
Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress, 1997) 250.
[11]
von Rad, Holy
War in Ancient Israel, 128.
[12] Niditch, War In The Hebrew Bible, A Study In
The Ethics Of Violence, 26.
[13]
von Rad, Holy War
in Ancient Israel, 65.
[14] Roy B. Zuck (ed), A Biblical Theology of The Old Testament
(Malang: Gandum Mas, 2005) 168-183.
[15] von Rad, Holy
War in Ancient Israel, 57.
[16] Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z,
238-237.
[17]
Niditch, War In The Hebrew Bible, A Study In
The Ethics Of Violence, 134.
[18] von Rad, Holy
War in Ancient Israel, 69-73.
[19] Martin Klingbeil, Yahweh Fighting from Heaven, God as Warrior and as God of Heaven in the
Hebrew Psalter and Ancient Near Eastern
Iconography (Switzerland: University Press Freiburg Vandenhoeck
& Ruprecht Göttingen, 1999) 38-152.
[20]
von Rad, Holy
War in Ancient Israel, 40.
[21] Martin Buber “Autobiographical Fragments,” dalam The Philosophy of Martin Buber, peny. Paul
Arthur Schilp (LaSalle, Illionis: Open Court, 1967) 32.
[22] Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan kekerasan, 96.
[23] Peter C. Craigie dalam Yongky Karman, Perang dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterprestasi. http://www.alkitab.or.id/biblika/Yonky4.htm. Diunduh pada tanggal 13 Januari 2015.http://sttsappi.blogspot.co.id/